Kamis, 26 Maret 2015

unsur-unsur fiksi

PENGKAJIAN FIKSI
UNSUR-UNSUR FIKSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Gasal Mata Kuliah Pengkajian Fiksi Pengampu Ali Imron Al - Ma’ruf




Oleh :
Nurul Fatimah             A310130154

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

TAHUN 2015



















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris.Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam suatu karya dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya non fiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya non fiksi bersifat faktual. Artinya, sesuatu yang disebut dalam teks non fiksi harus dapat ditunjukkan data empiriknya, dan kalau ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya, itu berati salah.
Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati sebagai permasalahan tersebut dengan pebuah kesungguhan yang kemudian diungkapakan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karan itu, fiksi, menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungaan-hubungan  antarmanusia. Penagrang mengumumkan hal itu berdasarkan pengalaman  dan pengamatannya tentang kehidupan. Namun, hal itu tidak dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman  kehidupan manusia”. Penyelesian kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, bersifat subjektif.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana deskripsi tema dalam pengkajian struktur fiksi?
2.      Bagaimana deskripsi fakta cerita dalam pengkajian struktur fiksi?
3.      Bagaimana deskripsi sarana sastra dalam pengkajian struktur fiksi?

C.    Tujuan
1.      Memaparkan deskripsi tema dalam pengkajian struktur fiksi
2.      Menjelaskan deskripsi fakta cerita dalam pengkajian struktur fiksi
3.      Menjelaskan deskripsi sarana sastra dalam pengkajian struktur fiksi


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tema dalam Pengkajian Stuktur Fiksi
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religious, social dan sebagainya. Dalam hal tersebut, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
            Permasalahan kehiduapan sangat luas dan kompleks. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai problem hidup dan kehidupan menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna kehidupan  yang memandang permasalahan itu sebagaimana memandangnya.
            Bermacam-macam masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat kedalam karya fiksi, baik yang berkenaan dengan pengalaman yang bersifat individual maupun sosial. Seperti, cerita kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religi, harga diri dan juga kesetiakawanan, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan,kebenaran dan sebagainya. Fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tangggung jawab krativitas pengarang, dan itu mungkin tidak sengaja atau bahkan bertentangan dengan kebenaran di dunia nyata.
B.     Fakta Cerita dalam Pengkajian Struktur Fiksi
Unsur fiksi yang kedua adalah fakta cerita. Fakta cerita merupakan hal-hal yang diceritakan dalam sebuah prosa fiksi. Fakta cerita meliputi penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut dimasukkan dalam fakta cerita karena ketiga unsur tersebut secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam prosa fiksi.
Dalam membicarakan sebuah cerita fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman dalam Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.13). Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra (Ibid dalam Rahmanto dan Haryanto, 1998:2.13). Dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot, (Nurgiyantoro, 2000:178) membaginya kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Sedangkan berdasarkan kriteria perkembangan atau tindaknya perwatakan tokoh-tokoh, Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2000:188) menggolongkan ke dalam tokoh statis, tidak berkembang dan tokoh berkembang. Ada 4 cara penggambaran watak tokoh  yaitu :
1.      Diskursif / analitik
Pengarang secara langsung menceritakan kepada pembaca tentang perwatakan tokoh-tokoh ceritanya.
2.      Dramatik
Pengarang membiarkan para tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka sendiri, misalnya lewat dialog, jalan pikiran tokoh, perasaan tokoh, perbuatan, sikap tokoh, lukisan fisik dan sebagainya.
3.      Kontekstual
Melukiskan watak tokoh dengan memberikan lingkungan yang mengelilingi tokoh.
4.      Campuran
Metode kombinasi dengan cara-cara yang ada, agar lebih efektif.
Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.10) berpendapat bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah. Rusyana (1984:76) menyatakan bahwa alur atau plot merupakan hubungan sebab akibat peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya didalam cerita. Sedangkan menurut Stanton (2012:26) menyatakan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang berhubungan sebab akibat. Secara garis besar, alur dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.      Awal
Pada bagian ini meliputi pemaparan dan ketidakmantapan.
2.      Tengah
Pada bagian ini meliputi konflik, komplikasi atau perumitan atau penggawatan, dan klimaks.
3.      Akhir
Pada bagian ini meliputi denoument atau peleraian. Denoument atau peleraian  merupakan segala sesuatu yang berawal dari klimaks menuju ke pemecahan masalah.
            Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.15) menyatakan bahwa latar/setting adalah unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1999:284). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu dalam cerita itu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna loka, lengkap dengan karakteristiknya yang khas ke dalam cerita.
C.    Sarana Sastra
            Sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti simbol, gaya bahasa, sudut pandang dan ironi.
1.      Simbol
Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’; simbol berwujud detail-detail konkrit dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dengan ini, pengarang membuat maknanya jadi ‘tampak’. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama, substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian manusia, ketidakacuhan alam tarhadap penderitaan manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa muda.
Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema.
2.      Gaya bahasa
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya.
3.      Sudut pandang
Sudut pandang menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1999:231). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengrang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya terhdap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja dikreasikan.
4.      Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang dikategorikan bagus). Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, menguatkan tema. Untuk memahami cara kerja ironi, hendaknya dipahami dulu jenis-jenisnya. Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ‘ironi dramatis’ dan ‘tone ironis’ .
‘ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal atau sebab akibat). Sedangkan ‘tone ironis’ atau ‘ironi verbal’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.
Satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaan ironi dan menafsirkannya adalah dengan membaca cerita berulang kali dengan teliti dan hati-hati. Nikmati ilusi yang diberikan karya sastra namun tetap selalu ingat bahwa karya sastra rekaan pengarang dan bukan sekadar fakta yang diberikan mentah-mentah. Ketika bukti-bukti manipulasi pengarang ditemukan seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu kontras cobalah untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dan relevansinya dengan berbagai peristiwa, karakter, dan maksud cerita bersangkutan.












BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pengkajian strukur fiksi mencakup tiga aspek yaitu :
1.      Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religious, social dan sebagainya. Dalam hal tersebut, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
2.      Fakta Cerita
Fakta cerita merupakan hal-hal yang diceritakan dalam sebuah prosa fiksi. Fakta cerita meliputi penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut dimasukkan dalam fakta cerita karena ketiga unsur tersebut secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam prosa fiksi.
3.      Sarana Sastra
Sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti simbol, gaya bahasa, sudut pandang dan ironi.
B.     Saran
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Peulis juga berharap makalah ini dapat digunakan sebagai referensi tentang struktur fiksi. Semoga kedepannya penulis dapat memperbaiki kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.










Daftar Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhayati, Ari. 2004. “Unsur-Unsur Dalam Cerita Fiksi”. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/UNSUR-UNSUR%20FIKSI.pdf. Diakses pada 4 Maret 2015 pukul 12:48 WIB.





Nama  : Nurul Fatimah
NIM    : A310130154

BAB II
PENGERTIAN DAN UNSUR KALIMAT
1.      PENGERTIAN SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani sun yang berarti ‘dengan’ dan tattein yang berarti ‘menempatkan’. Secara etiologis kata sintaksis berarti ‘menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata menjadi kalimat’ (Verhaar,1977).
            Sintaksis merupakan cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem (Ramlan,1987). Dari pengertian itu dapat diketahui bahwa bidang garapan sintaksis tidak hanya terdiri atas kalimat, klausa, dan frase, tetapi juga wacana. Dapat ditegaskan juga bahwa sintaksis adalah bagian ilmu bahasa yang mebicarakan hal-hal yang berhubungan dengan frase, kalusa dan kalimat.
2.      RUANG LINGKUP SINTAKSIS
Sintaksis menyelidiki semua hubungan antar-kata dan dan antar-kelompok kata antar-frase dalam satuan dasar sintaksis. Sintaksis mempelajari hubungan di luar batas kata, tetapi dalam satuan yang disebut kalmia, (Verhaar, 1977). Yang termasuk dalam pembicaraan sintaksis menurut J. D. Parera (1983) adalah kalimat, kalusa, dan frase. Dari pendapat Ramlan bahwa ruang lingkup sintaksis bukan hanya seluk-beluk frase, klausa, dan kalimat, melainkan juga seluk-beluk wacana.
3.      PENGERTIAN KALIMAT
Kalimat dalam hal ini dapat dipandang sebagai unsur yang dalam batasan-batasan tertentu paling besar atau paling luas dibandingkan dengan frase dan klausa.
3.1 Pengertian Kalimat yang Mempertimbangkan Makna
Kalimat ialah satuan kumpulan kata yang terkecil yang mengandung pikiran yang lengkap.yang dimaksud dengan pertimbangaan makna pada batasan tersebut adalah pernyataan Alisyahbana yang berbunyi mengandung pikiran yang lengkap. Sedangkan yang dimaksud sebagai pertimbangan bentuk dalam batasan itu adalah satuan kumpulan yang terkecil. Soetarno (1979) memberikan batasan atau definisi mengenai kalimat berdasarkan dua dasar. Pertama berdasarkan strukturnya, kedua berdasarkan maknanya. Berdasarkan strukturnya kalimat ialah kesatuan bahasa yang didahului dan diakhiri oleh kesenyapan. Susunan kata dan intonasinya, menunjukkan bahwa pikiran yang diungkapkan lengkap. Berdasarkan maknanya kalimat ialah kesatuan bahasa yang mengandung pikiran yang lengkap. Baginya kalimat memliliki ciri sebagai berikut:
(a) susun kata yang merupakan bentuk ekspresif
(b) kesenyapan dan intonasi
(c) pikiran yang lengkap
(d) situasi
4.      PENGENALAN KALIMAT
Untuk mengenali suatu ujaran termasuk kedalam kalimat atau bukan dapat diperhatikan dari dua hal. Pertama, ujaran yang terdapat dalam bahasa lisan. Kedua, ujaran dalam bahasa tulis. Jika ujaran tersebut terdapat dalam bahsa lisan, cara mengenalinya adalah dengan menggunakan prinsip kalimat lisan. Sebaliknya, jika ujaran yang dimaksudkan digunakan dalam bahasa tulis, atau dalam wacana tulis, pengenalannya juga dalam menggunakan bahasa tulis. Mengenali kalimat dalam bahasa lisan dimungkinkan bisa dilakukan tanpa memperhatikan makna kalimat. Artinya, jika suatu ujaran telah menunjukkan intonasi akhir selesai, dapat dikenali sebuah kalimat. Tetapi, dalam bahasa tulis pengenalan kalimat agaknya perlu mempertimbangkan makna suatu kalimat. Jika suatu ujaran menyatakan makna lengkap, ujaran itu dapat dikatakan sebagai kalimat. Disamping itu, dalam bahasa tilis kalimat telah ditandai dengan beberapa tanda baca, penggunaan ruang kosong dan lain-lain. Perbedaan ragam lisan dan ragam tulis adalah jika rgam lisan menghendaki orang kedua, ragam tulis tidak menghendaki. Dalam ragam lisan terikat situasi, kondisi, ruang, waktu sedangkan rgam tulis tidak. Dan ragam lisan dipengaruhi oleh intonasi sedangkan ragam tulis dipengaruhi tanda baca.
5.      UNSUR-UNSUR KALIMAT
Unsur-unsur kalimat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Yang pertama, unsur segmental atau bentuk. Yang kedua, unsur suprasegmental atau intonasi, lagu kalimat, jedai
5.1 Unsur Segmental
Menurut Moeliono (ed.), (1988) berdasarkan bentuknya kalimat dapat dilihat dari unsur sebagai berikut:
a)      Bagian Inti (bagian kalimat yang tidak dapat dihilangkan)
Contoh :
Lebaran dan budaya mudik telah berlalu
Kalimat tersebut semuanya merupakan bagian inti sehingga tidak ada yang dapat dihilangkan.
b)      Bukan Inti (bagian kalimat yang dapat dihilangkan)
Contoh :
Setelah malapas penat dari “ziarah kemanusiaan”, kesibukan, keruwetan dan rutinitas kembali menghadang.
Kalimat tersebut terdiri dari dua bagian :
-          Yang pertama (Setelah malapas penat dari “ziarah kemanusiaan”)
-          Yang kedua (kesibukan, keruwetan dan rutinitas kembali menghadang.
Bagian kedua disebut bagian inti dan bagian pertama disebut bagian bukan inti.
Semua untur dalam kalimat tidak harus muncul. Fungsi yang harus muncul adalah S dan P. Menurut Verhaar, 1977 dan Fokker 1972 menyatakan bahwa dalam bahsa lisan bisa hanya S atau P saja.
5.2 Unsur Suprasegmental
Unsur suprasegmental kalimat adalah lagu kalimat atau intonasi kalimat. Intonasi adalah kerjasama antar tekanan, nada, tekanan waktu dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur dariawal hingga kekeperhentian akhir.termasuk di dalm intonasi ini adalah kesenyapan (jeda). Kesenyapan oleh Keraf (1980) diartikan lebih luas daripada perhentian. Dalam bahasa tulis kesenyapan ini dapat berupa ruang kosong atau spasi. Kesenyapan merupakan keadaan diam, sedangkan perhentian merupakan berhentinya suatu proses. Ramlan (1987) menggunakan istilah jeda untk menyatakn perhentian. Dalam bahasa tulis jeda panjang atau kesenapan, baik kesenyapan awal atau kesenyapan akhir ditandai dengan tanda duasilang rangkap.
Contoh:
(13) # Orang itu sesang membaca #
(14) # adiknya bermain-main di halaman)
            Nada atau titnada merupakan tinggi-rendah suatu ketika orang mengucapkan suatu ujaran atau suatu kalimat. Dalam ilmu bahasa atau linguistik dikenal dengan adanya empat jenis nada, yakni nada tinggi sekali, nada tinggi, nada sedang, dan nada rendah. Berturut-turut dalam pembahasan intonasi secara tertulis ditandai dengan angka 4, 3, 2, dan 1.
            Tekanan atau aksen adalah tingkatan keras dan lemahnya unsur suatu kalimat diucapkan (Samsuri, 1978). Dalam suatu bahasa tekanan dan nada dapat dikenakan pada unsur kalimat yang berupa kata atau suku kata. Aksen dan kuantitas merupakan cirri-ciri prosodi suatu kalimat.kuantitas merupakan panjang atau pendek suatu bunyi diucapkan.
            Keraf (1980) membagi tekanan dalam tiga jenis. Ketiga macam tekananitu adalah : tekanan dinamik, tekanan tinggi atau nada, dan tekanan kuantitas. Tekanan dinamik adalah tekanan keras yang diletakkan atas sebuah sukukata dan mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
Contoh :
Re’fuse            ‘sampah’
Refu’se            ‘menolak’
Tekanan tinggi atau nada juga disebut tekanan musikal. Dalam bahasa-bahasa Barat, seperti bahasa Yunani dan Cina tekanan musikal ini mempunyai fungsi sebagai pembeda arti.
Tekanan kuantitas adalah tekanan yang terjadi karena suatu vocal diucapkan lebih panjang daripada vocal lainnya. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan antara vocal panjang dan vocal pendek.












BAB III
RAGAM KALIMAT
1.      RAGAM KALIMAT MENURUT A.A. FOKKER
Fokker (1972) membagi kalimat dengan menggunakan dua dasar. Pertama, pembagian kalimat berdasarkan struktur fungsional kalimat atau dari bangun kalimat. Kedua, pembagian kalimat berdasarkan intonasinya.
1.1 Pembagian Berdasarkan Bangun Kalimat
1.1.1 Tipe Kalimat
Tipe kalimat itu adalah :
a.       Tipe kalimat pertama
b.      Tipe kalimat kedua
c.       Tipe kalimat ketiga
d.      Tipe kalimat keempat
e.       Tipe kalimat kelima
f.       Tipe kalimat keenam
g.      Tipe kalimat ketujuh
h.      Tipe kalimat kedelapan
i.        Tipe kalimat kesembilan
Tipe kalimat pertama adalah kalimat dengan struktur fungsional S/P. S adalah sesuatu yang menjadi titik permulaan sesuatu yang dipercakapkan, sedangkan P adalah ada yang dikatakan orang tentang hal tersebut.
Contoh :
(1) Pekarangan / bersih
(2) percobaan itu / gagal
Kalimat tipe kedua dibedakan dengan kalimat tipe pertama semata-mata karena intonasinya. Kalimat tipe kedua ini adalah S/. Dalam kalimat ini pokok pemberitaan, atau S mula-mula digeser ke depan, sehingga ia menjadi pusat perhatian. Inti pembelajaran yang sebenarnya yaitu sesuatu yang ingin kita beritakan tentang pokok pembicaraan, yakni P, dipisah dengan S oleh jeda.
Contoh :
(7) Orang yang melanggar peraturan itu, tentulah ia dihukum berat.
(8) Adapun tempat tinggalnya, tidak diketahui orang.
            Kalimat tipe ketiga dibedakan dengan kalimat tipe pertama dan kedua karena S tidak terdiri atas satu bagian, tetapi terdiri atas beberapa bagian. Kalimat tipe ini digambarkan dengan struktur fungsional S1/S2/P.
Contoh :
(10) Akan anaknya perempuan,dua tahun kemudian, dipersuamikan.
(11) Adapun kedudukannya, dalam zaman itu, adalah istimewa.
            Kalimat tipe keempat membedakan dirinya dengan tipe pertama, karena P pada kalimat tipe keempat terdiri atas dua bagian atau lebih. Antara bagian-bagian P itu dipisahkan oleh jeda. Struktur kalimat itu adalah S1/P1/P2.
Contoh :
(12) Mereka berdua masuk warung, hendak minum kopi
(13) Auto kami selalu menurun di pinggir jurang, membelok-belok sampai ke Bandarbaru
            Tipe kalimat kelima adalah kalimat yang berstruktur P/S. Perbedaan kalimat tipe pertama dengan tipe kedua adlah intonasi dan urutan kata. Urutan kata pada kalimat tipe keliama bertentangan dengan urutan kata pada kalimat tipe pertama.
Contoh :
(14) Keras sungguh perjanjian itu.
(15) Habislah pembicaraan kita.
            Tipe kalimat keenam adalah kalimat yang hanya terdiri dari atas P saja. Contoh :
(17) Untung tak ada kurban manusia.
(18) Terdengarlah makian dan ejekan.
Kalimat tipe ketujuh adalah kaliamt yang berstruktur S/. Kalimat tipe ketujuh termasuk kalimat beruas.
Contoh :
(19) Dewasa ini pengetahuanlah yang diutamakan orang.
(20) Surat anak muda itu, ia sendiri yan membalasnya.
            Kalimat tipe kedelapan adalah kaliamat yang berstruktur / S. P terdiri atas unsur pokok (p) dan sebutan (s)
Contoh :
(21) Ia malu, akan pulang ke negerinya.
(22) Sangat berat baginya, untuk bercerai dengan anak.
            Kalimat tipe kesembilan adalah kalimat yang berstruktur /S. Kalimat seperti ini tampak pada contoh berikut.
(23) Sedih anak itu, ditinggalkan ibunya.
(24) Tak sangguplah ia, akan meninggalkan sobatnya.
1.1.2  Kalimat Luas
            Dibedakan tiga jenis kalimat luas, yakni : (1) kalimat luas I, (2) kalimat luas II, dan  (3) kalimat luas III. Kalimat luas I adalah kaliamat luas yang hubungan antara S dan P merupakan hubungan/relasi temporal, relasi kausal, relasi kondisional, relasi final, relasi konsesif, relasi sirkumstansial, dan relasi konsekutif.
            Kalimat luas II merupakan kalimat hasil merapatkan dua kalimat yang setara. Dengan merapatkan itu satu unsur berfungsi sebagai S dan unsur laian berfungsi sebagai P dari keseluruhan kalimat yang besar. Contohnya:
(38) Penduduk banyak yang merantau, mencari rezeki di Negara lain.
(39) Kedu suami isteri itu tampak hidup dengan rukun dan damai.
            Kalimaat luas III adalah kalimat yang dirapatkan dari kalimat-kalimat lain oleh elips. Contohnya:
(40) Kedengarannya bunyi beberapa gendang, dipukul beramai-ramai.
(41) Bunyi orang bertepuk tangan dengan hebat terdengar sampai disini.
1.2 Pembagian Berdasarkan Intonasi
            Kaliamt pernyataan dibedakan berdasarkan: (1) pertanyaan untuk diakui, (2) pertanyaan untuk diingkari, dan(3) pertanyaan minta keterangan. Pernyataan untuk diakui dapat dikenali dari intonasinya. Contohnya:
(42) Sudah ada keputusan? Sudah
            Pernyataan untuk diingkari dapat digunakan beberapa kata pengingkar seperti: tidak, bukan, dan belum. Contohnya
(44) orang itu sahabat tuan? Bukan
            Pernyataan yang meminta keterangan ditandai dengan penggunaan kata Tanya berikut: apa, mana, siapa, bagaimana, dan lain-lain. Contoh yang diberikan Fokker:
(46) Apa maksudmu?
(47) Siapa anak muda itu gerangan?
            Kalimat perintah dapat dikenali melalui intonasinya. Contohnya:
(49) Duduklah!
(50) Perhatikanlah!
            Kalimat larangan dapat diungkapkan dengan pertolongan kata jangan, dan dapat diperkuat diperkuat dengan partikel –lah. Contohnya:
(55) Janganlah Tuan mencela agama orang.
            Kalimat seruan ditengarai oleh pemakaian kata alangkah. Selain itu, dapat juga dipercirikan pengedepanan kata yang bersangkutan dan dilengkapi dengan akhiran –nya. Contohnya:
( 56) Alangkah girangnya aku!
2.      RAGAM KALIMAT MENURUT S. WOYOWASITO
Kalimat menurut Woyowasito adalah rentetan/rangkaian kata-kata/kelompok kata yang tidak mempunyai hubungan dengan lain-lain kata yang berada di luarnya dan memiliki kesatuan bunyi yang berdaulat. Pembagian yang dilakukan oleh Woyowasito ini menggunakan dasar analisis logis (dasar logika) dan struktur bahasa yang bersangkutan. Dengan menggunakan analisis logis menyebabkan mengenal dua kaliamt yaitu: (1) kalimat penuh/sempurna/lengkap, dan (2) kalimat tak sempurna/tak lengkap/tak penuh. Kalimat penuh minimal harus berisi fungtor Subjek dan perdikat. Contohnya:
(58) Orang itu membeli kacang
Kalimat tak sempurna hanya memiliki salah satu fungtor yang biasa didapati pada kalimat sempurna. Karena tidak semua artinya juga menjadi pertanyaan.
(60) Pergi!
Berdasarkan struktur bahasa, yakni berdasarkan urutan katanya, dikenal kalimat inverse dan kalimat majemuk. Kalimat inversi merupakan kalimat yang berstruktur Predikat-Subjek. Kalimat majemuk adalah dua kalimat yang dijadikan satu. Anak kalimat merupakan pengganti fungtor tertentu.
            Woyowasito, (1976) juga telah menyebutkan pembagian kalimat berdasarkan intonasinya. Dibedakan tiga jenis kalimat berdasarkan intonasinya yaitu: (1) kalimat seru, yang ditandai dengan tanda seru di pada akhir kalimat, (2) kalimat tanya, yang bercirikan dengan tanda Tanya pada akhir kalimat, dan (3) kalimat pernyataan, yang diakhiri dengan tanda titik.
3.      RAGAM KALIMAT MENURUT SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA
            Alisyahbana (1983) menyebutkan adanya kalimat Tanya dan kalimat perintah. Pertanyaan didefinisikan sebagai suatu ucapan seseorang kepada orang lain, menyatakan,bahwa yang bertanya itu tiada tahu, dan ingin (minta, menyeluruh, memerintah) diberi tahu tentang yang tiada deketahuinya itu.kalimat Tanya dibedakan menjadi tiga macam atas cara pembentukannya. Pertama, kalimat Tanya yang semata-mata terbentuk dari lagu Tanya. Kedua, kalimat tanya yang terbentuk dari berbagai kata tanya seperti: apa,mengapa, bagaimana, bila, kapan, di mana, ke mana, berapa, dan lain-lain. Ketiga, kalimat tanya yang dibentuk dari pertikel –kah atau –tah.
            Kalimat perintah adalah suatu ucapan yang memerintah (memaksa, menyuruh, mengajak, meminta), supaya orang yang diperintah itu melakukan apa yang tersebut dalam perintah itu. Menurut Alisyahbana (1983) kedudukan kata kerja dalam kalimat perintah memiliki kedudukan yang sangat penting. Pada kalimat tulis tanda seru merupakan cirri yang penting dalam kalimat perintah.
            Kalimat yang sejenis kalimat perintah adalah kalimat permintaan. Kalimat perintah dibedakan dengan kalimat permintaan karena lagu kalimat dan tingkanya yang berbeda.
            Kalimat tak sempurna adalah kalimat yang hanya  terdiri atas S, P, PPelengkap atau Keterangan saja, sedangkan kalimat sempurna merupakan kalimat yang terdiri atas S dan P. Kalimat tak sempurna dibedakan atas: (1) kalimat tidak bersubjek, (2) kalimat tidak berpredikat, (3) kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat. Berikut ini merupakan masing-masing contoh dari kalimat-kalimat tersebut.
(76) Lekas kemari!
(77) Ali.
(78) Pukul tujuh
            Kalimat tungal ialah sebuah kalimat yang dalam hubungan kalimat-kalimat yang banyak itu boleh dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya, kaliamt majemuk ialah susunan beberapa kalimat yang dalam hubungan kalimat-kalimat yang banyak itu amat rapat hubungan isinya, sedangkan hubungan yang rapat itu ternyata pula pada cara menyusun kalimat-kalimat itu, sehingga sekaliannya itu bersama-sama boleh dianggap menjadi sebuah kalimat.
            Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang terjadi dari beberapa kalimat yang setara. Kalimat majemuk setara ini dapat dibedakan atas hubungan setara menyambung dalam hubungan setara mempertahankan. Dalam suatu kalimat sebuah kata atau beberapa kata yang menduduki suatu jabatan dalam kalimat sering diganti oleh susunan katayang menyerupai sebuah kalimat. Jika terjadi hal-hal yan demikian, kalimat itu merupakan kalimat majemuk bertingkat.
4.      RAGAM KALIMAT MENURUT GORYS KERAF
            Keraf (1980) menyebut beberapa jenis kalimat yang dibagi dari tiga dasr yang berbeda. Ketiga dasar yang digunakan untuk membagi kalimat adalah: (1) banyaknya kontur, (2) banyaknya unsur pusat, (3) proses terbentuknya kalimat. Dengan dasar itu dihasilkan jenis kalimat berikut: (1) kalimat minim versus kalimat panjang, (2) kalimat minor versus kalimat mayor, (3) kalimat inti versus kalimat transformasi. Selain itu juga membicarakan kalimat tunggal dan majemuk.
4.1 Kalimat Minim Versus Kalimat Panjang
            Pembagian kalimat atas kalimat minim dan kalimat panjang didasarkan pada jumlah kontur yang terdapat dalam suatu kalimat. Kontur adalah suatu bagian dari arus ujaran yang diapit-apit oleh kedua kesenyapan. Berdasarkan kesenyapan yang mengapit ada empat jenis kontur.
a)      Kontur yang diapit oleh kesenyapan awal dan akhir kesenyapan final,
b)      Kontur yang diapit oleh kesenyapan awal dan kesenyapan nonfinal,
c)      Kontur yang diapit oleh kesenyapan nonfianl dan kesenyapan nonfinal,
d)     Kontur yang diapit oleh kesenyapan yang nonfinal dan kesenyapan final.
            Kalimat minim adalah kalimat yang tidak dapat dipecahkan atas kontur-kontur yang lebih kecil. Kalimat panjang adalah kalimat yang secara potensial dapat dipecehkan lagi atas kontur-kontur yang lebih kecil seperti halnya kalimat.
4.2 Kalimat Minor Versus Kalimat Mayor
            Berdasarkan unsur pusanyat kalimat dapat dibedakan atas kalimat minor dan kalimat mayor. Unsur pusat atau unsur inti adalah unsur kalimat yang tidak bisa dihilangkan dari sebuah kalimat. Kalimat minor adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu unsurpusat. Kalimat mayor adalah kalimat yang sekurang-kurangnya terdiri atas dua unsur pusat atau unsur inti.
4.3 Kalimat Inti Lawan Kalimat Tranformasional
            Kalimat inti adalah kalimat yang terdiri atas dua unsur pusat (inti). Kalimat inti yang sudah mengalami perubahan, baik perubahan intonasi, maupun perubahan struktur, dan menjadi kalimat baru disebut kalimat transformasional. Keraf mengutarakan dua jenis transformasi, yakni dengan menambah unsur-unsur tambahan dan menggabungkan beberapa gagasan menjadi satu.
4.4 Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
            Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua struktur inti dan boleh diperluas dengan satu atau lebih unsur-unsur tambahan, asal unsur-unsur tambahan itu tidak boleh membentuk pola yang baru. Kalimat tunggal itu dibedakan dengan kalimat majemuk karena jumlah pola kalimatnya. Kalimat-kalimat tunggal yang diperluas sekian macam hingga unsur-unsur baru itu membentuk satu atau lebih pola kaliat lagi, kalimat itu disebut kalimat majemuk.

            Kalimat majemuk dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) kalimat majemuk setara, (2) kaliamt majemuk bertingkat dan kalimat majemuk campuran. Kalimat majemuk setara adalah kalimat yang yang kedua pola kalimatnya sederajad atau setara. Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang hubungan pola-polanya tidak sederajad atau tidak setara. Kalimat majemuk campuran dapat berupa sebuah pola atasan dan sekurang-kurangnya dua pola bawahan, atau sekurang-kurangnya dua pola atasan ditambah dengan satu atau lebih pola bawahan.