PENGKAJIAN FIKSI
UNSUR-UNSUR FIKSI
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Gasal Mata Kuliah Pengkajian Fiksi Pengampu
Ali Imron Al - Ma’ruf
Oleh
:
Nurul Fatimah A310130154
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah fiksi sering dipergunakan dalam
pertentangannya dengan realitas sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia
nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris.Ada
tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam suatu karya
dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dengan
karya non fiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi
adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya
non fiksi bersifat faktual. Artinya, sesuatu yang disebut dalam teks non fiksi
harus dapat ditunjukkan data empiriknya, dan kalau ternyata tidak dapat
dibuktikan kebenarannya, itu berati salah.
Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan
berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang
menghayati sebagai permasalahan tersebut dengan pebuah kesungguhan yang
kemudian diungkapakan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya.
Oleh karan itu, fiksi, menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan
sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungaan-hubungan antarmanusia. Penagrang mengumumkan hal itu berdasarkan
pengalaman dan pengamatannya tentang
kehidupan. Namun, hal itu tidak dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai
dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan
terhadap pengalaman kehidupan manusia”.
Penyelesian kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, bersifat
subjektif.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
deskripsi tema dalam pengkajian struktur fiksi?
2. Bagaimana
deskripsi fakta cerita dalam pengkajian struktur fiksi?
3. Bagaimana
deskripsi sarana sastra dalam pengkajian struktur fiksi?
C.
Tujuan
1. Memaparkan
deskripsi tema dalam pengkajian struktur fiksi
2. Menjelaskan
deskripsi fakta cerita dalam pengkajian struktur fiksi
3. Menjelaskan
deskripsi sarana sastra dalam pengkajian struktur fiksi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tema
dalam Pengkajian Stuktur Fiksi
Tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut,
religious, social dan sebagainya. Dalam hal tersebut, sering, tema dapat
disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
Permasalahan kehiduapan sangat luas
dan kompleks. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai problem hidup dan
kehidupan menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan
pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah
karya sastra selalu berkaitan dengan makna kehidupan yang memandang permasalahan itu sebagaimana
memandangnya.
Bermacam-macam masalah dan
pengalaman kehidupan yang banyak diangkat kedalam karya fiksi, baik yang
berkenaan dengan pengalaman yang bersifat individual maupun sosial. Seperti,
cerita kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religi, harga diri dan juga
kesetiakawanan, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan,kebenaran dan sebagainya.
Fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tangggung
jawab krativitas pengarang, dan itu mungkin tidak sengaja atau bahkan bertentangan
dengan kebenaran di dunia nyata.
B. Fakta Cerita dalam Pengkajian
Struktur Fiksi
Unsur
fiksi yang kedua adalah fakta cerita. Fakta cerita merupakan hal-hal yang
diceritakan dalam sebuah prosa fiksi. Fakta cerita meliputi penokohan, alur,
dan latar. Ketiga unsur tersebut dimasukkan dalam fakta cerita karena ketiga
unsur tersebut secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya
dalam prosa fiksi.
Dalam
membicarakan sebuah cerita fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti
tokoh dan penokohan watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi
secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai
peristiwa dalam cerita (Sudjiman dalam Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.13).
Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan
citra tokoh di dalam karya sastra (Ibid dalam Rahmanto dan Haryanto,
1998:2.13). Dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot,
(Nurgiyantoro, 2000:178) membaginya kedalam tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Sedangkan berdasarkan kriteria perkembangan atau tindaknya
perwatakan tokoh-tokoh, Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2000:188)
menggolongkan ke dalam tokoh statis, tidak berkembang dan tokoh berkembang. Ada
4 cara penggambaran watak tokoh yaitu :
1. Diskursif
/ analitik
Pengarang secara langsung
menceritakan kepada pembaca tentang perwatakan tokoh-tokoh ceritanya.
2. Dramatik
Pengarang membiarkan para tokohnya
untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka
sendiri, misalnya lewat dialog, jalan pikiran tokoh, perasaan tokoh, perbuatan,
sikap tokoh, lukisan fisik dan sebagainya.
3. Kontekstual
Melukiskan watak tokoh dengan memberikan
lingkungan yang mengelilingi tokoh.
4. Campuran
Metode kombinasi dengan cara-cara
yang ada, agar lebih efektif.
Alur
atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain.
Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.10) berpendapat bahwa alur merupakan rangkaian
peristiwa yang tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai
akhir kisah. Rusyana (1984:76) menyatakan bahwa alur atau plot merupakan
hubungan sebab akibat peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya didalam
cerita. Sedangkan menurut Stanton (2012:26) menyatakan bahwa alur merupakan rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang berhubungan sebab akibat. Secara
garis besar, alur dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.
Awal
Pada bagian ini
meliputi pemaparan dan ketidakmantapan.
2.
Tengah
Pada bagian ini
meliputi konflik, komplikasi atau perumitan atau penggawatan, dan klimaks.
3.
Akhir
Pada bagian ini
meliputi denoument atau peleraian. Denoument atau peleraian merupakan segala sesuatu yang berawal dari
klimaks menuju ke pemecahan masalah.
Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.15)
menyatakan bahwa latar/setting adalah
unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu
berlangsung. Latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan
waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan (Abrams, 1999:284). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret
dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca,
menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Dengan demikian pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk
“mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan
serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca
dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu
dalam cerita itu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi
jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna loka, lengkap dengan
karakteristiknya yang khas ke dalam cerita.
C.
Sarana
Sastra
Sarana
sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena
dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang,
memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti simbol, gaya
bahasa, sudut pandang dan ironi.
1. Simbol
Gagasan dan emosi terkadang tampak
nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat
dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal
tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’; simbol berwujud
detail-detail konkrit dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan
gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dengan ini, pengarang membuat maknanya
jadi ‘tampak’. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar
cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama, substansi fisis,
bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat
menghadirkan satu fakta terkait kepribadian manusia, ketidakacuhan alam
tarhadap penderitaan manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau
romantisme masa muda.
Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek
yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan.
Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita
menunjukan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan
berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta
cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan
membantu kita menemukan tema.
2. Gaya
bahasa
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa. Meski dua orang memakai alur, karakter, dan latar yang
sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut terletak
pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang
pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imajinasi dan metafora.
Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan
gaya.
3. Sudut
pandang
Sudut pandang menunjuk pada cara sebuah cerita
dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
(Abrams, 1999:231). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan
strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengrang untuk
mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita
fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan
tafsirannya terhdap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita fiksi
disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja
dikreasikan.
4. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk
menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga
sebelumnya.Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang
dikategorikan bagus). Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memperkaya
cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor,
memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang,
menguatkan tema. Untuk memahami cara kerja ironi, hendaknya dipahami dulu
jenis-jenisnya. Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu
‘ironi dramatis’ dan ‘tone ironis’ .
‘ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi
biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas,
antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan
dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung
satu sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal atau sebab akibat).
Sedangkan ‘tone ironis’ atau ‘ironi verbal’ digunakan untuk menyebut cara
berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.
Satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaan ironi
dan menafsirkannya adalah dengan membaca cerita berulang kali dengan teliti dan
hati-hati. Nikmati ilusi yang diberikan karya sastra namun tetap selalu ingat
bahwa karya sastra rekaan pengarang dan bukan sekadar fakta yang diberikan
mentah-mentah. Ketika bukti-bukti manipulasi pengarang ditemukan seperti yang
telah disinggung sebelumnya yaitu kontras cobalah untuk mengetahui efek yang
ditimbulkan dan relevansinya dengan berbagai peristiwa, karakter, dan maksud
cerita bersangkutan.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Pengkajian
strukur fiksi mencakup tiga aspek yaitu :
1. Tema
Tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut,
religious, social dan sebagainya. Dalam hal tersebut, sering, tema dapat
disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
2. Fakta
Cerita
Fakta
cerita merupakan hal-hal yang diceritakan dalam sebuah prosa fiksi. Fakta
cerita meliputi penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut dimasukkan
dalam fakta cerita karena ketiga unsur tersebut secara faktual dapat
dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam prosa fiksi.
3. Sarana
Sastra
Sarana sastra dapat
diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar
tercapai pola-pola yang bermakna. Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap
cerita seperti simbol, gaya bahasa, sudut pandang dan ironi.
B. Saran
Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Peulis juga berharap makalah
ini dapat digunakan sebagai referensi tentang struktur fiksi. Semoga kedepannya
penulis dapat memperbaiki kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.
Daftar
Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Stanton,
Robert. 2007. Teori Fiksi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhayati,
Ari. 2004. “Unsur-Unsur Dalam Cerita Fiksi”. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/UNSUR-UNSUR%20FIKSI.pdf.
Diakses pada 4 Maret 2015 pukul 12:48 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar