Kamis, 26 Maret 2015

unsur-unsur fiksi

PENGKAJIAN FIKSI
UNSUR-UNSUR FIKSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Gasal Mata Kuliah Pengkajian Fiksi Pengampu Ali Imron Al - Ma’ruf




Oleh :
Nurul Fatimah             A310130154

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

TAHUN 2015



















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris.Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam suatu karya dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya non fiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya non fiksi bersifat faktual. Artinya, sesuatu yang disebut dalam teks non fiksi harus dapat ditunjukkan data empiriknya, dan kalau ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya, itu berati salah.
Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati sebagai permasalahan tersebut dengan pebuah kesungguhan yang kemudian diungkapakan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karan itu, fiksi, menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungaan-hubungan  antarmanusia. Penagrang mengumumkan hal itu berdasarkan pengalaman  dan pengamatannya tentang kehidupan. Namun, hal itu tidak dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman  kehidupan manusia”. Penyelesian kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, bersifat subjektif.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana deskripsi tema dalam pengkajian struktur fiksi?
2.      Bagaimana deskripsi fakta cerita dalam pengkajian struktur fiksi?
3.      Bagaimana deskripsi sarana sastra dalam pengkajian struktur fiksi?

C.    Tujuan
1.      Memaparkan deskripsi tema dalam pengkajian struktur fiksi
2.      Menjelaskan deskripsi fakta cerita dalam pengkajian struktur fiksi
3.      Menjelaskan deskripsi sarana sastra dalam pengkajian struktur fiksi


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tema dalam Pengkajian Stuktur Fiksi
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religious, social dan sebagainya. Dalam hal tersebut, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
            Permasalahan kehiduapan sangat luas dan kompleks. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai problem hidup dan kehidupan menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna kehidupan  yang memandang permasalahan itu sebagaimana memandangnya.
            Bermacam-macam masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat kedalam karya fiksi, baik yang berkenaan dengan pengalaman yang bersifat individual maupun sosial. Seperti, cerita kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religi, harga diri dan juga kesetiakawanan, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan,kebenaran dan sebagainya. Fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tangggung jawab krativitas pengarang, dan itu mungkin tidak sengaja atau bahkan bertentangan dengan kebenaran di dunia nyata.
B.     Fakta Cerita dalam Pengkajian Struktur Fiksi
Unsur fiksi yang kedua adalah fakta cerita. Fakta cerita merupakan hal-hal yang diceritakan dalam sebuah prosa fiksi. Fakta cerita meliputi penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut dimasukkan dalam fakta cerita karena ketiga unsur tersebut secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam prosa fiksi.
Dalam membicarakan sebuah cerita fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman dalam Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.13). Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra (Ibid dalam Rahmanto dan Haryanto, 1998:2.13). Dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot, (Nurgiyantoro, 2000:178) membaginya kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Sedangkan berdasarkan kriteria perkembangan atau tindaknya perwatakan tokoh-tokoh, Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2000:188) menggolongkan ke dalam tokoh statis, tidak berkembang dan tokoh berkembang. Ada 4 cara penggambaran watak tokoh  yaitu :
1.      Diskursif / analitik
Pengarang secara langsung menceritakan kepada pembaca tentang perwatakan tokoh-tokoh ceritanya.
2.      Dramatik
Pengarang membiarkan para tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka sendiri, misalnya lewat dialog, jalan pikiran tokoh, perasaan tokoh, perbuatan, sikap tokoh, lukisan fisik dan sebagainya.
3.      Kontekstual
Melukiskan watak tokoh dengan memberikan lingkungan yang mengelilingi tokoh.
4.      Campuran
Metode kombinasi dengan cara-cara yang ada, agar lebih efektif.
Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.10) berpendapat bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah. Rusyana (1984:76) menyatakan bahwa alur atau plot merupakan hubungan sebab akibat peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya didalam cerita. Sedangkan menurut Stanton (2012:26) menyatakan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang berhubungan sebab akibat. Secara garis besar, alur dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.      Awal
Pada bagian ini meliputi pemaparan dan ketidakmantapan.
2.      Tengah
Pada bagian ini meliputi konflik, komplikasi atau perumitan atau penggawatan, dan klimaks.
3.      Akhir
Pada bagian ini meliputi denoument atau peleraian. Denoument atau peleraian  merupakan segala sesuatu yang berawal dari klimaks menuju ke pemecahan masalah.
            Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.15) menyatakan bahwa latar/setting adalah unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1999:284). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu dalam cerita itu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna loka, lengkap dengan karakteristiknya yang khas ke dalam cerita.
C.    Sarana Sastra
            Sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti simbol, gaya bahasa, sudut pandang dan ironi.
1.      Simbol
Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’; simbol berwujud detail-detail konkrit dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dengan ini, pengarang membuat maknanya jadi ‘tampak’. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama, substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian manusia, ketidakacuhan alam tarhadap penderitaan manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa muda.
Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema.
2.      Gaya bahasa
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya.
3.      Sudut pandang
Sudut pandang menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1999:231). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengrang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya terhdap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja dikreasikan.
4.      Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang dikategorikan bagus). Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, menguatkan tema. Untuk memahami cara kerja ironi, hendaknya dipahami dulu jenis-jenisnya. Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ‘ironi dramatis’ dan ‘tone ironis’ .
‘ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal atau sebab akibat). Sedangkan ‘tone ironis’ atau ‘ironi verbal’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.
Satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaan ironi dan menafsirkannya adalah dengan membaca cerita berulang kali dengan teliti dan hati-hati. Nikmati ilusi yang diberikan karya sastra namun tetap selalu ingat bahwa karya sastra rekaan pengarang dan bukan sekadar fakta yang diberikan mentah-mentah. Ketika bukti-bukti manipulasi pengarang ditemukan seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu kontras cobalah untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dan relevansinya dengan berbagai peristiwa, karakter, dan maksud cerita bersangkutan.












BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pengkajian strukur fiksi mencakup tiga aspek yaitu :
1.      Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religious, social dan sebagainya. Dalam hal tersebut, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
2.      Fakta Cerita
Fakta cerita merupakan hal-hal yang diceritakan dalam sebuah prosa fiksi. Fakta cerita meliputi penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut dimasukkan dalam fakta cerita karena ketiga unsur tersebut secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam prosa fiksi.
3.      Sarana Sastra
Sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti simbol, gaya bahasa, sudut pandang dan ironi.
B.     Saran
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Peulis juga berharap makalah ini dapat digunakan sebagai referensi tentang struktur fiksi. Semoga kedepannya penulis dapat memperbaiki kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.










Daftar Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhayati, Ari. 2004. “Unsur-Unsur Dalam Cerita Fiksi”. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/UNSUR-UNSUR%20FIKSI.pdf. Diakses pada 4 Maret 2015 pukul 12:48 WIB.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar